Candu
Semarang, 1 Juni 2018
Sore itu aku melihat senyumnya dalam pejam mataku, aku berhayal ..
menjadikannya suamiku dalam lamunanku. Aku senyum-senyum sendiri, merasa begitu
bahagia dalam imajiku. Mengkhayalkannya menjadi sosok suami yang romantis,
berucap dengan kata kata manis dan lembut, selembut bubuk kopi yang kusuguhkan
dengan campuran gula dicangkirnya setiap hari. Mendamba percakapan
sedap, seperti wangi teh yang ku seduh
untuknya setiap pagi.
Aku memang pecinta aroma seduhan kopi dan teh. Bagiku keduanya
memiliki aroma tersendiri yang membuatku merasa tenang, damai dan bahagia saat menghirupnya.
Bahkan ketika ku menyeduh dan mulai membauinya yang terbesit selalu lah
wajahnya, mungkin itu yang membuatku bahagia sesungguhnya. Aroma teh yang wangi bagiku lebih baik dari aroma terapi
jenis manapun, disana aku dapati ketenangan dan kenyamanan seperti saat dia
memanggilku dengan sebutan “nduk”. Ya, aku merasa euforia saat dia panggil aku
dengan kata “nduk”, serasa aku menari-nari ditaman bunga dilempari bunga-bunga
wangi dan warna-warna cerah pelangi kehadapku seperti adegan film india saat
scene pemeran sedang jatuh cinta. Bagiku
kata itu mengandung rasa kasih yang begitu dalam, mesra dan romantis serta yang
paling penting tak semua orang memangggilku dengan kata “nduk”.
Kata “nduk” memang lazim digunakan dijawa. Aku adalah gadis
keturunan asli jawa. Tapi dia bukan lah orang jawa, dia adalah penutur bahasa
tapal kuda. Bahkan abahku sendiri tak memanggilku dengan kata itu. Dirumah aku
dipanggil adik. Karena kebetulan aku adalah anak terakhir dari empat
bersaudara. Sebenarnya panggilan “adik” pun bagiku mengandung rasa kasih yang
dalam juga terlebih yang menyebutkan adalah orang orang tersayang. Tapi pada
kata “nduk” terdapat rasa yang berbeda yang tak biasa, dan jelas tak dapat
kujelaskan sebagai mana aku menjelaskan cara merajut kepada ibu-ibu PKK
di desa Solowire tempatku KKN yang jelas itu njlimet juga ruwet. Entah,
aku tak tahu alasannya memanggilku dengan kata itu, mungkin karena
menghormatiku sebagai gadis jawa atau mungkin karena aku kerap memanggilnya “mas” sehingga dia
berbalas memanggil “nduk”. Aku juga tak tahu seberapa dalam pemahamannya
tentang filosofi kata “nduk”, atau mungkin justru dia tak tahu dalamnya kata
ini. Biarlah, yang jelas aku bahagia.
Dia seorang penulis. Yang menuliskan syair-syair sejuk yang
menebarkan rasa kasih dan aroma cinta. Aku selalu kagum dengan orang sastra.
Semenjak kecil kelas enam sekolah dasar dulu, pak guruku mengenalkan
puisi-puisi karya Kahlil Gibran, Chairil Anwar dan W.S Rendra, dari situlah aku
mulai mengenal dan perlahan jatuh cinta dengan kata-kata yang entah bagaimana
merangkainya menjadi untaian kata yang berima dan berirama. Sedap dibaca,
bumbu-bumbunya merasuk jiwa memberikan energi dan kekuatan tersendiri setelah
dikonsumsi.
Tak hanya itu, aku juga
memiliki guru Bahasa di SMP dulu, seorang guru lulusan sastra. Baginya buku
adalah hidup. Konon semasa kuliah uang saku nya ia habiskan untuk belanja
buku-buku sastra di warung buku loakan. Baik novel bekas, kumpulan puisi lawas
atau buku-buku teori lainnya. Yang ku tahu beliau punya perpustakaan pribadi
yang rak nya lebih besar dan lebih luas dari lemari bajunya, tentunya memenuhi
ruang. Tertata rapi dan terdaftar nomor pembukuan selayaknya perpustakaan
kampus yang termanage dengan baik. Kamipun dipersilakan meminjam buku-bukunya sesuka
hati. Beliau adalah orang luar jawa. Namanya Bu Desi, sedikit keras ketika
mengajar. Tak sedikit siswa yang kena marah setiap jam pelajaranya, tapi itu
lah gaya mengajarnnya. Selebihnya kami tetap senang saat pelajaran bahasa
Indonesia bersamanya. Metodenya asik. Apalagi saat review novel atau film, kami
paling semangat. Satu novel terjemahan yang paling senang ia ceritakan dulu
pada kami adalah novel terjemahan berjudul Toto Chan isinya tentang ketulusan
hati seorang anak Jepang yang sekolahnya terhenti karena bangunannya rusak
akibat perang terhempas bom Hiroshima. Beliau mempunyai cara tersendiri dalam
menyampaikan setiap unsur cerita hingga pesannya begitu terserap dan tak
terlupakan olehku hingga sekarang.
Seperti itulah cerita mulaku
mengenal sastra, nampak begitu sederhana dan mudah aku menyukai sastra. Maka
jangan heran kalau aku mudah jatuh cinta dengan seorang penulis, dia
misalnya.
Lagi-lagi aku senyum sendiri, merasa malu dengan khayalanku.
Membanyangkan obrolan kecil yang kita bicarakan saat kusuguhkan kopi untuk mu,
kubawakan secangkir kopi diatas cawan kepadamu, lalu kau bilang “terimakasih,
nduk”, kita uduk bersama diteras rumah bagian belakang didepan kolam ikan
sambil melihat embun yang masih membasahi rerumputan hampir kering terserap matahari pagi dan kita
saling melempar senyum. Kemudian kita berbincang, kau yang senang menjelaskan
apa saja dengan pengetahuanmu yang luas, dan aku yang menanggapi dengan gaya
bicara wanitaku yang fillers dan superpolite, sesekali kamu gemas dengan
bantahanku yang terkadang tak masuk akal. Sedang bicaramu realistis, akhirnya
kita tak mau kalah satu sama lain, kemudian kita sadar perdebatan itu tidaklah
lebih dari pengganti biskuit atau renyah kacang tanah pendamping wedang kopi
buatanku untukmu. Lalu tertawa bersama. Ah, betapa bahagianya hari itu.
Sebenarnya ku tak tahu banyak tentang sosok yang selalu ku
khayalkan belakangan ini. Namun dalam hatiku aku begitu yakin bahwa yang ku
tahu dia adalah laki-laki yang baik dan penyabar, ambisius, konsisten, penuh
semangat, luas pengetahuan dan sedikit
pemalu. Sedikit banyak kami berbincang memalui kecanggihan teknologi masa kini.
Perkenalan kamipun tak jauh berawal dari media sosial, meski sebenarnya kami
telah berada dalam satu majlis sebelumnya. Namun aku yakin pada waktu itu dia
sama sekali tak melihatku apalagi memperhatikan aku, tapi aku melihatnya. Ya,
karena waktu itu dia adalah seorang narasumber dalam seminar sedangkan aku
hanyalah audiens. Tatapan itu berlanjut karena kebetulan tugasku dikomunitas
sedikit berhubungan dengannya., lalu ku coba iseng mengirim pesan langsung
melalui akun instagramnya. Sebenarnya malu, tapi kupikir tak apalah, toh
Fatimah wanita mulia putri Baginda Rosul saja mengawali melamar Ali untuk
menjadikan suaminya. Sedang aku hanya mendekat untuk mencari ilmu dari seorang
yang menurutku kompeten dalam bidangnya.tak apalah aku mencoba. Dari situlah
perkenalan kami berlanjut, dan sempat berjumpa dalam dua event setelah
pertemuan pertama. Jadi kalau dihitung aku menatapnya tiga kesempatan. Andai
kau tahu mungkin kau akan berkata “ini tidak adil nduk,”. Ya begitu kira-kira
karena aku tahu dia menantikan kehadiranku sebagai seorang kawan yang hadir
duduk bersama berbincang tukar pikiran berdua. Mungkin disana dia akan mendapat
kesempatan untuk menatapku. Meski kusadari aku tak cantik, namun suatu keadilan
jika kami sama-sama mengenal satu sama lain, bukan hanya aku yang terus
mengutil ilmu-ilmunya, setidaknya aku bisa mentraktirnya segelas kopi atau
sebungkus nasi kucing khas angkringan Jogja. Meski aku sendiri belum tahu apa
makanan favoritnya.
Sebelumnya kau pun telah mengkhayalkan kedatangaku, katamu kau
ingin kita habiskan malam dijalanan kota Jogja berjalan bercanda tawa menikmati
keromantisan kota. Menyaksikan dan mendengarkan
asyiknya angklung dibibir jalan Malioboro, duduk dibawah temaram sinar
lampu malam alun-alun, berbagi kopi dan berbagi hati. Jika iya, mungkin aroma
kopi yang kita minum bersama akan berbeda, jauh lebih wangi, mungkin juga
terasa manis segar seperti ice cream. Hangat cangkirnya pun mungkin akan
berbeda, pasti tak hanya menghangatkan jemari dan telapak tanganku, tapi juga
turut menghangatkan seluruh tubuh hingga kalbu karena detak jantung yang
bekerja lebih cepat, berdenyut, hingga aliran darah mengalir lebih deras dari
pada aliran kopi yang kita teguk.
Suatu malam dihari yang lain, aku kembali mengirim pesan padamu.
Mungkin terkesan formal, karena setelah beberapa lama kita tak saling tegur
sapa, tiba-tiba saja aku bertanya tentang teori kepenulisan. Nampak canggung
aku bertanya karena jawaban yang muncul darimu begitu resmi, tanpa basa-basi.
Mungkin tanyaku tak sesuai harapmu. Hingga diawal sapa kau panggil aku “nduk”
tetapi setelahnya panggilan itu hilang, lenyap serasa aku adalah orang lain,
bukan lagi “nduk”mu yang sama. Andai kau
tahu bahwa tanyaku adalah rindu, yang aku salurkan dengan tanya yang sebenarnya
aku sudah tahu jawabannya, yang mungkin nampak kaku dan wagu.
Paginya aku nyalakan TV aku stel satu saluran televisi kesukaanku,
aku lihat kau disana. Membacakan puisi. Lalu ku buka lebar-lebar mataku, ku
ketuk keras hatiku. Alangkah lancangnya diriku bermimpi hidup menua
bersama-sama menyambut surya hingga jingga senja tiba dengan seorang penulis
ternama.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar